DASAR HUKUM PENCATATAN PERNIKAHAN DI INDONESIA
Perkawinan
selanjutnya disebut pernikahan, merupakan sebuah lembaga yang memberikan
legimitasi seorang pria dan wanita untuk bisa hidup dan berkumpul bersama dalam
sebuah keluarga. Ketenangan atau ketenteraman sebuah keluarga ditentukan salah
satunya adalah bahwa pernikahan itu harus sesuai dengan dengan tuntutan syariat
Islam (bagi orang Islam). Selain itu, ada aturan lain yang mengatur bahwa
pernikahan itu harus tercatat di Kantor Urusan Agama/Catatan Sipil.
Pencacatan
perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu
merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh
hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain.
Dalam
hal nikah siri atau perkawinan yang tidak dicatatkan dalam administrasi Negara
mengakibatkan perempuan tidak memiliki kekuatan hukum dalam hak status
pengasuhan anak, hak waris, dan hak-hak lainnya sebagai istri yang pas,
akhirnya sangat merugikan pihak perempuan
Pada
kesempatan ini perlu kami sampaikan beberapa dasar hukum mengenai pencacatan
perkawinan/pernikahan, antara lain:
<!-- more -->
- UNDANG-UNDANG
TENTANG NO 22 TAHUN 1946
Mengatakan:
Nikah yang dilakukan menurut agama
Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang
diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk
yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk,
diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.
Pasal ini memberitahukan legalisasi bahwa supaya nikah,
talak, dan rujuk menurut agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum.
Dalam Negara yang teratur segala hak-hak yang bersangkut
pada dengan kependudukan harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan,
kematian, dan sebagainya lagi pada perkawinan perlu di catat ini untuk menjaga
jangan sampai ada kekecauan.
- Undang-undang No I tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 2 Ayat
2 menyatakan:
"Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
- PP NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UU NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.
Bab II Pasal 2
Ayat 1:
"Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana
dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak, dan
Rujuk."
Ayat 2:
"Pencatatan Perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu
selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor
Catatn Sipil sebagaiman dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan."
Ayat 3:
"Dengan tidak mengurangi
ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan
berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatn perkawinan
dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 samapai Pasal 9 Peraturan
Pemerintah."
Pasal 6;
Ayat 1:
"Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-sayart perkawinan telah
dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
Undang-undang."
Ayat 1:
"Selain penelitian terhadap hal
sebagai dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Pencatat meneliti pula:
- Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;
- Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;
- Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
- Izin Pengadilan sebagi dimaksud pasal 14 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
- Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
- Izin kematian isteri atau suami yang terdahuluatau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
- Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah satu calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
- Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alas an yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Mengapa Perkawinan Harus Dicatat?
Sebuah Catatan Aksiologi
Nikah yang sah menurut undang-undang adalah nikah yang telah
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
(PPN). Pencatatan ini dilakukan jika ketentuan dan peraturan sebagaimana
Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 telah dipenuhi.
Mengapa nikah harus dicatat? Ada beberapa manfaat pencatatan
pernikahan:
- Mendapat perlindungan hukum
Bayangkan, misalnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT). Jika sang istri mengadu kepada pihak yang berwajib, pengaduannya
sebagai istri yang mendapat tindakan kekerasan tidak akan dibenarkan.
Alasannya, karena sang isteri tidak mampu menunjukkan bukti-bukti otentik akta
pernikahan yang resmi.
- Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan
Akta nikah akan membantu suami isteri untuk melakukan
kebutuhan lain yang berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak menunaikan ibadah
haji, menikahkan anak perempuannya yang sulung, pengurusan asuransi kesehatan,
dan lain sebagainya.
- Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum
Pernikahan yang dianggap legal secara hukum adalah
pernikahan yang dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau yang ditunjuk
olehnya. Karenanya, walaupun secara agama sebuah pernikahan yang tanpa
dicatatkan oleh PPN, pada dasarnya illegal menurut hukum.
- Terjamin keamanannya
Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan terjamin
keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya.
Misalnya, seorang suami atau istri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat
dalam Akta Nikah untuk keperluan yang menyimpang. Maka, keaslian Akta Nikah itu
dapat dibandingkan dengan salinan Akta Nikah tersebut yang terdapat di KUA
tempat yang bersangkutan menikah dahulu.